Satu lagi teori pembelajaran yang dapat digunakan
sebagai landasan dalam model cooperative learning. Menurut Piaget (Dahar
1996; Hasan 1996; Surya 2003), setiap individu mengalami
tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
(1)
Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun). Anak mulai belajar dan mengendalikan
lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku
bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang
diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memiliki pengetahuan object
permanence yaitu walaupun objek pada suatu saat tak terlihat di depan
matanya, tak berarti objek itu tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada
umumnya beranggapan benda yang tak mereka lihat berarti tak ada. Pada
tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar
gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya.
(2)
Tahap Preoporational (2-7 tahun). Pada tahap ini anak sudah mampu
berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai
pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 tahun, kehidupan anak
juga ditandai dengan sikap egosentris, di mana mereka berpikir subyektif
dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga
mereka sukar menerima pandangan orang lain. Ciri lain dari anak yang
perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah
ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa,
jumlah atau volume yang tetap walau bentuknya berubah-ubah. Karena belum
berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika
guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya
kata-kata.
(3). Tahap
Concrete (7-11 thn). Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah
memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy),
yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau
volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi,
menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya.
Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit,
mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu
menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas
pembelajaran yang melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat
efektif dibandingkan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).
(4)
Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas). Pada tahap ini, kemampuan
siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan
hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji
hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa
pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua
kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin
terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.
Walaupun
pada mulanya, Piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun,
hampir semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation
ini. Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian
orang dewasa sekali pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat
ini.
Dalam
perkaitannya dengan pembelajaran, teori ini berpedoman kepada kegiatan
pembelajaran yang mesti melibatkan siswa. Menurut teori ini, pengetahuan
tidak hanya sekadar dipindahkan secara lisan, tetapi mesti dikonstruksi
dan dikonstruksi semula siswa. Sebagai realisasi teori ini, maka dalam
kegiatan pembelajaran siswa ia mestilah bersifat aktif. Pembelajaran
koperatif adalah sebuah model pembelajaran aktif dan bekerjasama. Pada
masa ini, siswa telah menyesuaikan diri dengan realiti konkrit dan harus
berpengetahuan.
Oleh sebab itu, dalam usaha meningkatkan kualiti kognitif siswa, guru dalam melaksanakan pembelajaran mesti lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan (Semiawan 1990). Selanjutnya, diungkap pembelajaran koperatif bahwa pembentukan minda dengan pengetahuan hafalan dan latihan (drill) yang berlebihan, selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal.
Oleh sebab itu, dalam usaha meningkatkan kualiti kognitif siswa, guru dalam melaksanakan pembelajaran mesti lebih ditujukan pada kegiatan pemecahan masalah atau latihan meneliti dan menemukan (Semiawan 1990). Selanjutnya, diungkap pembelajaran koperatif bahwa pembentukan minda dengan pengetahuan hafalan dan latihan (drill) yang berlebihan, selain tidak mewujudkan peningkatan perkembangan kognitif yang optimal.
Menurut Surya (2003), perkembangan kognitif pada peringkat ini merupakan ciri perkembangan remaja dan dewasa yang menuju ke arah proses berfikir dalam peringkat yang lebih tinggi. Peringkat berfikir ini sangat diperlukan dalam pemecahan masalah. Proses pembelajaran akan berhasil apabila disesuaikan dengan peringkat perkembangan kognitif siswa. Siswa hendaklah banyak diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fizikal, yang disokong dengan interaksi sesama rekan sebaya
0 comments:
Post a Comment